Kamis, 17 Januari 2008

GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM

I.PENDAHULUAN
Salah satu isu yang paling hangat dibicarakan akhir-akhir ini adalah masalah gender. Masalah ini merebak ke permukaan sebagai wacana aktual dalam kerangka pemikiran Islam. Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan sisi-sisi problematis baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks) telah melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut gender. Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan mempunyai nilai implementatif di dalam kehidupan budaya. Persepsi sebagian masyarakat menunjukkan bahwa jenis kelamin akan menentukan peran seseorang yang akan diemban dalam masyarakat. Jenis kelamin telah dijadikan sebagai atribut gender yang senantiasa digunakan untuk menentukan relasi gender, seperti pembagian fungsi, peran dan status di dalam masyarakat. Penentuan seperti ini telah melahirkan bias gender yang merugikan perempuan.

Fakta ini akan sangat menarik bila dihubungkan dengan Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam. Al-Qur’an sangat bijak berbicara tentang masalah gender dengan mengedepankan prinsip keadilan, kesetaraan dan kemitraan. Al-Qur’an tidak pula menafikan adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Gender

Kata gender berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Sedangkan dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Hilary M. Lips dalam bukunya Sex and Gender: An Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. HT.Wilson memahami konsep gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.Meskipun kata gender belum termasuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun istilah tersebut telah lazim digunakan.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis. Hal ini berbeda dengan sex yang secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologis seseorang yang meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non-biologis lainnya. Studi gender lebih menekankan perkembangan maskulinitas (masculinity/rujuliyah) atau feminitas (feminity/nisa’iyyah) seseorang. Sedangkan studi sex lebih menekankan perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness/zhukurah) dan perempuan (femaleness/unutsah). Untuk proses pertumbuhan anak kecil menjadi seorang laki-laki atau menjadi seorang perempuan, lebih banyak digunakan istilah gender daripada istilah seks. Istilah seks umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual, selebihnya digunakan istilah gender.

B. Ayat Qur’an dan Hadits Tentang Kepemimpinan Perempuan

Adanya anggapan bahwa dalam literature Islam klasik, dasar hukum tentang larangan dasar hukum pelarangan itu berasal dari ayat Al Qur;an, Hadist, maupun ‘ijma (konsensus) ulama. Yang pertama dan yang utama adalah Al Qur’an, surat An-Nisa ayat 34 yang artinya begini: laki-laki adalah Qawwam bagi perempuan, karena Allah SWT telah memberikan kelebihan di antara mereka diatas yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.

Sebagaian Ulama menegaskan ayat ini sebagai dasar bagi pelarangan kepemimpinan perempuan dalam Islam. Sementara Ulama lain, menolak keras pandangan tersebut, beberapa alasan yang dinyatakan oleh kelompok terakhir. Pertama, bahwa ayat ini berbicara tentang wilayah domestik, sehingga tidak bisa menjadi dasar bagi kepemimpinan yang berada di wilayah publik. Kedua, bahwa ayat ini tidak bersifat normatif tetapi bersifat informatif tentang situasi dan kondisi masyarakat Arab (dunia) saat itu, sehingga tidak memiliki konsekwensi hukum. Ketiga, karena ada sejumlah ayat lain yang mengindikasikan kebolehan kepemimpinan perempuan, Seperti dalam surat At Taubah 71:

Artinya: “(Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakannya), yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya”.

Memberikan hak wilayah kepada perempuan atas laki-laki. Kata wilayah bisa berarti penguasaan, kepemimpinan, kerja sama dan saling tolong menolong. Keempat, rijal dalam ayat ini tidak berarti jenis kelamin laki-laki, tetapi sifat-sifat maskulinitas yang bisa dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Dengan keempat alasan ini, pernyataan bahwa Al Qur’an melarang kepemimpinan politik perempuan tidak dapat dibenarkan.

Di dalam Al Qur’an terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada Kepala Negara, QS An Nisa 59:

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu”.

Dalam ayat ini terdapat perintah untuk taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafadz ulil Amri, berdasarkan kaidah bahasa arab maka bisa dipahami bahwa perintah untuk taat kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat ini adalah pemimpin laki-laki. Sebab apabila pemimpin perempuan maka seharusnya menggunakan lafadz Uulatul amri.

Inilah tinjauan syara’ terhadap kepemimpinan perempuan, yang secara tegas Islam mengharamkan wanita untuk menjadi waliyul amri (pemegang tampuk pemerintahan) baik ditingkat kepala negara maupun perangkat-perangkatnya.

Surat An Nisa 34:

Artinya : “para lelaki menjadi pemimpin atas kaum perempuan”

Kemudian ada pula hadist yang mendasari pelarangan kepemimpinan perempuan dalam Islam, yaitu:

Pernyataan Nabi saw yang diriwayatkan oleh sahabat Abi Bakarah r.a, bahwa, “ketika sampai kepada Nabi yang saw tentang bangsa Persia mengangkat anak perempuan Kisra sebagai ratu mereka, Nabi saw bersabda : Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.

Penjelasan:

a.Hadist ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab sahihnya (vol VII, halaman 732, no hadist 4425). Karena yang meriwayatkan adalah Imam Bukhari, maka sebagian besar Ulama menerima bulat-bulat hadist ini. Tetapi tidak berarti tidak ada Ulama yang mengkritisi kasahihan hadist ini. Sebagian Ulama melihat kejanggalan dalam periwayatan hadist ini, yaitu bahwa periwayatnya sahabat Abi Bakarah r.a, tokoh ini pada zaman Khalifah Umar bin Khattab r.a, pernah dicambuk delapan puluh kali, karena menuduh sahabat Syu’ban bin Mughirah r.a. berbuat zina tanpa ada bukti cukup pada saat pengadilan. Dalam surat An Nur dinyatakan orang yang menuduh orang lain berzina tanpa bukti, tidak bisa diterima kesaksiannya sepanjang masa, sekalipun (seperti pendapat Madzab Hanafi) ia bertaubat. Karena kesaksiannya tidak diterima, selayaknya periwayatannya juga tidak bisa diterima.

b.Menurut Hibah, hadist ini sahih, tetapi tidak bisa dimaknai sebagai pelarangan terhadap kepemimpinan politik/publik perempuan. Yang tepat adalah mengelompokkannya dengan hadist-hadist lain (yang juga sahih dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari) yang berbicara tentang kerajaan Persia (Kisra) dan interaksi mereka dengan komunitas Nabi Muhammad saw pulang ke Madinah. Setelah pengabaran itu Nabi saw meramalkan kehancuran kerajaan kisra. Kedua pengabaran Nabi saw bahwa Kaisar Romawi tunduk pada jalan Allah SWT. Kedua, hadist ini hanya mengawali pernyataan Nabi saw tentang kehancuran kepemimpinan perempuan di Kisra Persia, yaitu Bawran binti Syayruyah bin Kisra.

c. Pernyataan Syeikh Ibnu Hajar Al-‘asqallani juga memperkuat pandangan terakhir. Menurut Ibnu Hajar hadist ini merupakan salah satu hadist yang berkaitan dengan kisah kerajaan Persia itu sendiri. Raja Persia pernah menyobek surat Nabi saw, kemudian ia dibunuh anaknya sendiri. Sang anak kemudian menjadi raja, tetapi kemudian meniggal karena diracuni. Kerajaan kemudian diserahkan kepada anak perempuannya, yang kemudian membawa kehancuran kerajaan Persia[1].

C. Kepemimpinan peempuan Dalam Pandangan Isam

Sebagai seorang muslim sudah selayaknya menjadikan Islam sebagai cara pandangnya dalam memandang, menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan. Dimana cara pandang Islam mengharuskan untuk menjadikan dalil-dalil syara’ sebagai sandaran atau acuan dalam menyelesaikan persoalan termasuk persoalan kepemimpinan wanita. Pengkajian yang mendalam terhadap khasanah Islam, akan ditemukan bahwa para ulama mujahid empat madzab telah bersepakat bahwa mengangkat kepala negara seorang wanita adalah haram. Imam Al Qurthubi dalam tafsir Al Jami’liahkamil Qur’an mengatakan:

“Khalifah (kepala Negara) haruslah seorang laki-laki dan fuqoha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah)”.

Kemitraan Suami Isteri

Islam mewajibkan laki-laki sebagai suami untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Akan tetapi ini bukan berarti perempuan sebagai sitri tidak berkewajiban – walaupun secara moral – membantu suaminya mencari nafkah. Pada masa Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya, sekian banyak perempuan/istri bekerja dan mencari nafkah. Ummu Satim binti Malhah bekerja sebagai perias pengantin. Safiyah binti Huyay seorang pekerja dan bahkan Zainab binti Jahsy (istri Nabi Muhammad SAW) bekerja menyamak kulit binatang, yang hasil usahanya beliau sedekahkan kepada fakir miskin. Istri sahabat nabi, Abdullah ibn Mas’ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.Atas dasar kelebihan dan keistimewaan masing-masing, maka tanggung jawabnya pun didasarkan pada kapabilitas keduanya. Misalnya, perempuan diberi tanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya. Akan tetapi hal ini bukan berarti menjadi tugas ibu semata-mata, tetapi juga termasuk tugas bapak. Al-Quran memerintahkan ayah untuk memelihara dan melindungi keluarganya dari segala macam usaha yang dapat menjerumuskan mereka ke jurang kebinasaan. Memang ibu dianjurkan untuk menyusui anak-anaknya, tetapi untuk maskud tersebut sang ayah berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan istri dalam rangka penyusuan itu. Banyak ditemukan uraian Al-Quran tentang bagaiman peran bapak dalam mendidik anak-anaknya. Contoh yang paling konkrit adalah bagaimana Luqman menasehati dan mendidik anak-anaknya (QS. Luqman: 13 – 15) dan peran Rasulullah dalam kehidupan rumah tangga. Banyak riwayat yang menguraikan secara rinci partisipasi aktif Nabi SAW dalam berbagai urusan rumah tangga. Hammudah dalam bukunya Al-Rasul fi Al-Bayt, menulis beliau selalu membantu keluarganya bahkan beliau sendiri yang menjahit bajunya yang robek, atau alas kakinya yang putus, beliau sendiri pula yang memeras susu kambingnya dan melayani dirinya sendiri. Beliau bahkan membantu keluarganya dalam tugas-tugas mereka dan menyatakan bahwa partisipasi suami dalam perkerjaan istri (di rumah) dinilai sebagai sedekah.

Rasulullah SAW mengingatkan para orang tua agar berlaku adil dan tidak membeda-bedakan anak atas dasar jenis kelaminnya. Di sisi lain baik anak laki-laki maupun perempuan berkewajiban menghormati orang tuanya dan membantu sebatas kemampuan mereka. Rasyid Ridha mengemukakan bahwa bukan termask pengertian berbakti kepada orang tua, jika perlakuan yang mengakibatkan tercabutnya hak-hak pribadi anak.